Manusia
berjenis mental jongos hanya bisa dipimpin oleh manusia berkelakuan komandan
militer . semua aktivitas disampaikan dengan bentuk briefing dan instruksi, sibawahan hanya selalu mengulang apapun
perintah (instruksi) yang diteriakkan komandan (biasanya komandan mesti
berteriak agar intruksi jelas, dan bermakna ganda).
Jadi. Bisa jdai sebuah kultur
militeristik terbentuk karena pada awalnya pemimpin bermental komandan dan
lambat laun sang anak buah terbawa menjadi bawahan pak komendan. Tetapi, bisa jadi bawahan yang berkeluan jongos tadi
memang tidak cocok menjadi pemimpin dengan gaya kumendan, penyeragaman serta kedisiplinan serta bahasa kekerasan
mati adalah ciri utama kultur itu. Tidak ada prajurit yang harus berdebat dulu
dengan komandannya, karena yang pasti sudah tertembak.
Cobalah amati, sekolah negeri dengan
kepsek yang agak bergaya militeristik biasanya sukses membuat guru bekerja
keras, meski menggerutu dan akhirnya cukup berprestasi, cilaka tiga belas jika gurupun bersikap seperti komandan kepada murinya.
Narasumber lainnya lagi, yang ini
biasanya Cuma memberi wacana yang tidak peduli, apakah hla ini dikerjakan atau
tidak. Mirip pekerjaan konsultan yang tugasnya memberi advis dan penerimalah
yang memutuskan apakah advis dipakai atau tidak, narasumber biasanya manusia
setengah dewa karena tidak pernah ada pernyataan yang tidak mampu dia jawab (mungkin
karena merasa wajib menjawab) SENGAWUR
apapun—kan narasumber.
Nah meski ada diskusi, gaya
pembicara dalam pelatihan P4 zaman ORBA itulah contoh yang paling cocok disebut
narasumber, saat guru, dosen, atau widya iswara sering memainkan peran
narasumber. Narasumber nasional, apalagi pengamat ekonomi, berhonor besar—sekali
bicara selama 2 jam dibayar 5-8 juta.
Jenis ketiga adalah fasilitator, tugasnya ya to
fasilitate atau mempermudah
sesuatu...... konon guru modern adalah fasilitatot sehingga mereka bertugas
mempermudah murid belajar dan menjadi pembelajar. Fasilitator seperti ini
katalisator, dia bukan anasir pertama, ibarat lem dan tripleks. Karena posisinya
yang memang tidak pernah menjadi pemeran utama itu, pekerjaan inilah yang
disukai orang, apalagi honornya kecil dengan beban kerja yang berat. Fasilitator
hebat harus benar-benar mampu merangkum dan mengonstruksi beragam ide yang
difasilitasi menjadi sebuah kolektif ide yang dahsyat. Fasilitator itu juga
harus mampu menjadikan hasil diskusi menjadi milik bersama.
Namun menjadi fasilitator bukan pekerjaan
mudah, karena bukan berperan sebagai narasumber, mereka harus sering mengatakan
tidak tahu jika ada yang bertanya untuk mempertajam pendapat yang
difasilitasinya. Apalagi proses fasilitasi bukan hanya breifing tempur,
indoktrinasi ideologi, atau diskusi dengan narasumber, tetapi proses merangkum
dan menyusun—mengonstruksi ide kreatif dan kolektif dengan cara memudahkan
peserta, sehingga. Fasilitator ibarat moderator dari diskusi yang semua
pesertanya dan narasumbernya. Fasilitator juga memerlukan kesabaran dan
konsentrasi agar target hasil kolektif tercapai dan sering dibantu oleh
beberapa metode.
Jika guru masih memiliki mental
berfikir—atau lebih kerennya paradigma—sebagai narasumber, lebih parah lagi
sebagai komandan tempur, alangkah sulitnya menjalankan tugas profesi sebagai
fasilitator dalam pelaksanaan konsep active
learning , sebab murid hanya akan diberi indoktrinasi dan instruksi dan
loncatan informasi dan ide, tanpa adanya upaya mengkontruksi hasil pemikiran
kolektif.
SO.
Konsep active learning disekolah negeri adalah guru memberi tugas
murid dan guru bengong-bengong menunggu
murid menyelesaikan tugas itu--- ini adalah fakta yang saya saksikan dibeberapa
sekolah yang kukunjungi, tetepi jangan salahkan guru. Sebab, umumnya mereka
mengajar dengan cara meniru bagaimana mereka diajar.
Komentar
Posting Komentar