Problematika Pendidikan Islam Di Era
Global
Pendidikan Islam diakui
keberadaannya dalam sistem pendidikan yang terbagi menjadi tiga hal. Pertama,
Pendidikan Islam sebagai lembaga diakuinya keberadaan lembaga pendidikan
Islam secara Eksplisit. Kedua, Pendidikan Islam sebagai Mata Pelajaran
diakuinya pendidikan agama sebagai salah satu pelajaran yang wajib diberikan
pada tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Ketiga, Pendidikan Islam
sebagai nilai (value) yakni ditemukannya nilai-nilai islami dalam sistem
pendidikan. Walaupun demikian, pendidikan islam tidak luput dari problematika
yang muncul di era global ini. Terdapat dua faktor dalam problematika tersebut,
yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
1. Faktor
Internal
a. Relasi
Kekuasaan dan Orientasi Pendidikan Islam. Tujuan pendidikan pada dasarnya hanya
satu, yaitu memanusiakan manusia, atau mengangkat harkat dan martabat manusia
atau human dignity, yaitu menjadi khalifah di muka bumi dengan tugas dan
tanggung jawab memakmurkan kehidupan dan memelihara lingkungan. Tujuan
pendidikan yang selama ini diorientasikan memang sangat ideal bahkan, lantaran
terlalu ideal, tujuan tersebut tidak pernah terlaksana dengan baik. Orientasi
pendidikan, sebagaimana yang dicita-citakan secara nasional, barangkali dalam
konteks era sekarang ini menjadi tidak menentu, atau kabur kehilangan orientasi
mengingat adalah tuntutan pola kehidupan pragmatis dalam masyarakat indonesia.
Hal ini patut untuk dikritisi bahwa globalisasi bukan semata mendatangkan efek
positif, dengan kemudahan-kemudahan yang ada, akan tetapi berbagai tuntutan
kehidupan yang disebabkan olehnya menjadikan disorientasi pendidikan.
Pendidikan cenderung berpijak pada kebutuhan pragmatis, atau kebutuhan pasar
lapangan, kerja, sehingga ruh pendidikan islam sebagai pondasi budaya,
moralitas, dan social movement (gerakan sosial) menjadi hilang.
b.
Masalah
Kurikulum. Sistem sentralistik terkait erat dengan birokrasi atas bawah yang
sifatnya otoriter yang terkesan pihak “bawah” harus melaksanakan seluruh
keinginan pihak “atas”. Dalam system
yang seperti ini inovasi dan pembaruan tidak akan muncul. Dalam bidang
kurikulum sistem sentralistik ini juga mempengaruhi output pendidikan. Tilaar
menyebutkan kurikulum yang terpusat, penyelenggaraan sistem manajemen yang
dikendalikan dari atas telah menghasilkan output pendidikan manusia robot.
Selain kurikulum yang sentralistik, terdapat pula beberapa kritikan kepada
praktik pendidikan berkaitan dengan saratnya kurikulum sehingga seolah-olah
kurikulum itu kelebihan muatan. Hal ini mempengaruhi juga kualitas pendidikan. Anak-anak
terlalu banyak dibebani oleh mata pelajaran Dalam
realitas sejarahnya, pengembangan kurikulum Pendidikan Islam tersebut mengalami
perubahan-perubahan paradigma, walaupun paradigma sebelumnya tetap
dipertahankan. Hal ini dapat dicermati dari fenomena berikut : (1) perubahan
dari tekanan pada hafalan dan daya ingat tentang teks-teks dari ajaran-ajaran
agama islam, serta disiplin mental spiritual sebagaimana pengaruh dari timur
tengah, kepada pemahaman tujuan makna dan motivasi beragama islam untuk
mencapai tujuan pembelajaran Pendidikan Islam. (2) perubahan dari cara berfikir
tekstual, normatif, dan absolutis kepada cara berfikir historis, empiris, dan
kontekstual dalam memahami dan menjelaskan ajaran-ajaran dan nilai-nilai
islam.(3) perubahan dari tekanan dari produk atau hasil pemikiran keagamaan islam
dari para pendahulunya kepada proses atau metodologinya sehingga menghasilkan
produk tersebut. (4) perubahan dari pola pengembangan kurikulum pendidikan
islam yang hanya mengandalkan pada para pakar dalam memilih dan menyusun isi
kurikulum pendidikan islam ke arah keterlibatan yang luas dari para pakar,
guru, peserta didik, masyarakat untuk mengidentifikasikan tujuan Pendidikan
Islam dan cara-cara mencapainya.
c. Pendekatan/Metode
Pembelajaran. Peran guru atau dosen sangat besar dalam meningkatkan kualitas
kompetensi siswa/mahasiswa. Dalam mengajar, ia harus mampu membangkitkan
potensi guru, memotifasi, memberikan suntikan dan menggerakkan siswa/mahasiswa melalui
pola pembelajaran yang kreatif dan kontekstual (konteks sekarang menggunakan
teknologi yang memadai). Pola pembelajaran yang demikian akan menunjang
tercapainya sekolah yang unggul dan kualitas lulusan yang siap bersaing dalam
arus perkembangan zaman. Siswa atau mahasiswa bukanlah manusia yang tidak
memiliki pengalaman. Sebaliknya, berjuta-juta pengalaman yang cukup beragam
ternyata ia miliki. Oleh karena itu, dikelas pun siswa/mahasiswa harus kritis
membaca kenyataan kelas, dan siap mengkritisinya. Bertolak dari kondisi ideal
tersebut, kita menyadari, hingga sekarang ini siswa masih banyak yang senang
diajar dengan metode yang konservatif, seperti ceramah, didikte, karena lebih
sederhana dan tidak ada tantangan untuk berfikir.
d.
Profesionalitas
dan Kualitas SDM. Salah satu masalah besar yang dihadapi dunia pendidikan di
Indonesia sejak masa Orde Baru adalah profesionalisme guru dan tenaga pendidik
yang masih belum memadai. Secara kuantitatif, jumlah guru dan tenaga
kependidikan lainnya agaknya sudah cukup memadai, tetapi dari segi mutu dan
profesionalisme masih belum memenuhi harapan. Banyak guru dan tenaga
kependidikan masih unqualified, underqualified, dan mismatch, sehingga
mereka tidak atau kurang mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang
benar-benar kualitatif.
e.
Biaya
Pendidikan. Faktor biaya pendidikan adalah hal penting, dan menjadi persoalan
tersendiri yang seolah-olah menjadi kabur mengenai siapa yang bertanggung jawab
atas persoalan ini. Terkait dengan amanat konstitusi sebagaimana termaktub
dalam UUD 45 hasil amandemen, serta UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 tentang
sistem pendidikan nasional yang memerintahkan negara mengalokasikan dana
minimal 20% dari APBN dan APBD di masing-masing daerah, namun hingga sekarang
belum terpenuhi. Bahkan, pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan genap
20% hingga tahun 2009 sebagaimana yang dirancang dalam anggaran strategis pendidikan.
2. Faktor
Eksternal
a.
Dichotomic.
Masalah besar yang dihadapi dunia pendidikan islam adalah dichotomy dalam
beberapa aspek yaitu antara Ilmu Agama dengan Ilmu Umum, antara Wahyu dengan
Akal setara antara Wahyu dengan Alam. Munculnya problem dikotomi dengan segala
perdebatannya telah berlangsung sejak lama. Boleh dibilang gejala ini mulai
tampak pada masa-masa pertengahan. Menurut Rahman, dalam melukiskan watak ilmu
pengetahuan islam zaman pertengahan menyatakan bahwa, muncul persaingan yang
tak berhenti antara hukum dan teologi untuk mendapat julukan
sebagai mahkota semua ilmu.
b. To General
Knowledge. Kelemahan dunia pendidikan islam berikutnya adalah sifat ilmu
pengetahuannya yang masih terlalu general/umum dan kurang memperhatikan kepada
upaya penyelesaian masalah (problem solving). Produk-produk yang
dihasilkan cenderung kurang membumi dan kurang selaras dengan dinamika
masyarakat. Menurut Syed Hussein Alatas menyatakan bahwa, kemampuan untuk
mengatasi berbagai permasalahan, mendefinisikan, menganalisis dan selanjutnya
mencari jalan keluar/pemecahan masalah tersebut merupakan karakter dan sesuatu
yang mendasar kualitas sebuah intelektual. Ia menambahkan, ciri terpenting yang
membedakan dengan non-intelektual adalah tidak adanya kemampuan untuk berfikir
dan tidak mampu untuk melihat konsekuensinya.
c.
Lack of
Spirit of Inquiry. Persoalan besar lainnya yang menjadi penghambat kemajuan
dunia pendidikan islam ialah rendahnya semangat untuk melakukan
penelitian/penyelidikan. Syed Hussein Alatas merujuk kepada pernyataan The
Spiritus Rector dari Modernisme Islam, Al Afghani, Menganggap rendahnya “The
Intellectual Spirit” (semangat intelektual) menjadi salah satu faktor
terpenting yang menyebabkan kemunduran Islam di Timur Tengah.
d. Memorisasi.
Rahman menggambarkan bahwa, kemerosotan secara gradual dari standar-standar
akademis yang berlangsung selama berabad-abad tentu terletak pada kenyataan
bahwa, karena jumlah buku-buku yang tertera dalam kurikulum sedikit sekali,
maka waktu yang diperlukan untuk belajar juga terlalu singkat bagi pelajar
untuk dapat menguasai materi-materi yang seringkali sulit untuk dimengerti,
tentang aspek-aspek tinggi ilmu keagamaan pada usia yang relatif muda dan belum
matang. Hal ini pada gilirannya menjadikan belajar lebih banyak bersifat studi
tekstual daripada pemahaman pelajaran yang bersangkutan. Hal ini
menimbulkan dorongan untuk belajar dengan sistem hafalan (memorizing)
daripada pemahaman yang sebenarnya. Kenyataan menunjukkan bahwa abad-abad pertengahan
yang akhir hanya menghasilkan sejumlah besar karya-karya komentar dan bukan
karya-karya yang pada dasarnya orisinal.
e.
Certificate
Oriented. Pola yang dikembangkan pada masa awal-awal Islam, yaitu thalab
al’ilm, telah memberikan semangat dikalangan muslim untuk gigih mencari
ilmu, melakukan perjalanan jauh, penuh resiko, guna mendapatkan kebenaran suatu
hadits, mencari guru diberbagai tempat, dan sebagainya. Hal tersebut
memberikan isyarat bahwa karakteristik para ulama muslim masa-masa awal didalam
mencari ilmu adalah knowledge oriented. Sehingga tidak mengherankan jika
pada masa-masa itu, banyak lahir tokoh-tokoh besar yang memberikan banyak
konstribusi berharga, ulama-ulama encyclopedic, karya-karya besar
sepanjang masa. Sementara, jika dibandingkan dengan pola yang ada pada masa
sekarang dalam mencari ilmu menunjukkan kecenderungan adanya pergeseran dari knowledge
oriented menuju certificate oriented semata. Mencari ilmu hanya
merupakan sebuah proses untuk mendapatkan sertifikat atau ijazah saja,
sedangkan semangat dan kualitas keilmuan menempati prioritas berikutnya
F.
Solusi
Problematika Pendidikan Islam Di Era Global
Pendidikan memiliki keterkaitan erat
dengan globalisasi. Pendidikan tidak mungkin menisbikan proses globalisasi yang
akan mewujudkan masyarakat global ini. Dalam menuju era globalisasi, indonesia
harus melakukan reformasi dalam proses pendidikan, dengan tekanan menciptakan
sistem pendidikan yang lebih komprehensif, dan fleksibel, sehingga para lulusan
dapat berfungsi secara efektif dalam kehidupan masyarakat global demokratis.
Untuk itu, pendidikan harus dirancang sedemikian rupa yang memungkinkan para
peserta didik mengembangkan potensi yang dimiliki secara alami dan kreatif
dalam suasana penuh kebebasan, kebersamaan, dan tanggung jawab. Disamping itu,
pendidikan harus menghasilkan lulusan yang dapat memahami masyarakatnya dengan
segala faktor yang dapat mendukung mencapai sukses ataupun penghalang yang
menyebabkan kegagalan dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu alternatif yang
dapat dilakukan adalah mengembangkan pendidikan yang berwawasan global.
Selain itu, program pendidikan harus
diperbaharui, dibangun kembali atau dimoderenisasi sehingga dapat memenuhi
harapan dan fungsi yang dipikulkan kepadanya. Sedangkan solusi pokok menurut
Rahman adalah pengembangan wawasan intelektual yang kreatif dan dinamis dalam
sinaran dan terintegrasi dengan Islam harus segera dipercepat prosesnya.
Sementara itu, menurut Tibi, solusi pokoknya adalah secularization, yaitu
industrialisasi sebuah masyarakat yang berarti diferensiasi fungsional dari
struktur sosial dan sistem keagamaannya.
Berbagai macam tantangan tersebut
menuntut para penglola lembaga pendidikan, terutama lembaga pendidikan Islam
untuk melakukan nazhar atau perenungan dan penelitian kembali apa yang
harus diperbuat dalam mengantisipasi tantangan tersebut, model-model pendidikan
Islam seperti apa yang perlu ditawarkan di masa depan, yang sekiranya mampu
mencegah dan atau mengatasi tantangan tersebut. Melakukan nazhar dapat
berarti at-taammul wa al’fahsh, yakni melakukan perenungan atau menguji
dan memeriksanya secara cermat dan mendalam, dan bias berarti taqlib
al-bashar wa al-bashirah li idrak al-syai’ wa ru’yatihi, yakni melakukan
perubahan pandangan (cara pandang) dan cara penalaran (kerangka pikir) untuk
menangkap dan melihat sesuatu, termasuk di dalamnya adalah berpikir dan
berpandangan alternatif serta mengkaji ide-ide dan rencana kerja yang telah
dibuat dari berbagai perspektif guna mengantisipasi masa
Komentar
Posting Komentar