BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan Islam lahir seiring dengan datangnya Islam itu sendiri,meskipun
pada mulanya dalam bentuk yang sangat sederhana. Dalam sejarahnyatidak pernah
sunyi dari persoalan dan rintangan yang dihadapinya. Pada masasebelum
kemerdekaan berhadapan dengan tenakan dan intimidasi pemerintahkolonial Belanda
dan Jepang. Pada masa kemerdekaan berhadapan dengan berbagai
kebijakan pemerintah yang tampak belum memberikan dukungansepenuhnya terhadap
lembaga pendidikan Islam. Meski demikian, satu hal yang tidak
bisa dipungkiri bahwa Pendidikan Islam dengan semua lembaga
pendidikannya telah mewarnai perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Umat
Islam yang merupakan mayoritas dari penduduk Indonesia selalu mencari
berbagai cara untuk membangun sistem pendidikan Islam yang lengkap,mulai
pesantren yang sederhana sampai tingkat perguruan tinggi. Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) yang sekarang menyebar hampir di seluruh
nusantara bukan merupakan bentuk kelembagaan yang final dalam perkembangan
kelembagaan Perguruan Tinggi Islam di Indonesia. Seperti tercatat dalam
sejarah, nama Perguruan
Tinggi Islam (PTI) di Indonesia terus berubah sebagai
upaya meresponi perkembangan masyarakat dan sekaligus juga sebagai obyek
tarik menarik antara berbagai kekuatan atau kelompok dalam masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Secara khusus makalah ini mengkaji perkembangan Perguruan Tinggi Islam
Negeri di Indonesia., dengan masalah pokoknya adalah “Bagaimana perkembangan
Pendidikan Tinggi Islam Negeri di Indonesia?”. Untuk lebih mengarahkan
kajian mengenai pokok masalah di atas, diuraikan ke dalam tiga
sub masalah, yaitu:
1. Bagaimana sejarah singkat Pendidikan Tinggi Islam Negeri di
Indonesia?
2. Berapa jenis Pendidikan Tinggi Islam di Indonesia?
3. Bagaimana masa depan Pendidikan Tinggi Islam di Indonesia?
C. batasan masalah
Makalah ini kami beri judul konsep pendidikan
tinggi khususnya islam, maka kami hanya akan membatasi dengan judul tersebut
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah pendidikan tinggi islam
yang ada di indonesia
a. Pendidikan Tinggi Islam
Pendirian lembaga pendidikan tinggi
Islam sudah dirintis sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda,
dimana Dr. Satiman Wirjosandjoyo pernah mengemukakan pentingnya keberadaan
lembaga pendidikan tinggi Islam untuk mengangkat
harga diri kaum Muslim di Hindia Belanda yang terjajah itu. Gagasan tersebut akhirnya terwujud pada tanggal 8 Juli 1945 ketika Sekolah Tinggi Islam (STI) berdiri di Jakarta di bawah
pimpinan Prof. Abdul Kahar Muzakkir,
sebagai realisasi kerja yayasan Badan Pengurus Sekolah Tinggi Islam yang dipimpin oleh Drs. Mohammad Hatta sebagai ketua
dan M. Natsirsebagai sekretaris.
Ketika masa revolusi kemerdekaan, STI ikut Pemerintah Pusat Republik Indonesia hijrah ke Yogyakarta dan pada tanggal 10
April 1946 dapat dibuka kembali di
kota itu.5 Dalam sidang Panitia
Perbaikan STI yang dibentuk pada bulan November
1947 memutuskan pendirian Universitas Islam Indonesia (UII) pada 10 Maret 1948 dengan empat fakultas: Agama, Hukum, Ekonomi, dan
Pendidikan. Tanggal 20 Februari 1951,
Perguruan Tinggi Islam Indonesia (PTII) yang berdiri di
Surakarta pada 22 Januari 1950 bergabung dengan UII yang berkedudukan di Yogyakarta.[1]
Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia
secara internasional, Pemerintah mendirikan Perguruan Tinggi
Agama Islam Negeri (PTAIN), yang diambil dari Fakultas
Agama UII (Yogyakarta) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1950. Penetapan PTAIN sebagai perguruan tinggi negeri
diresmikan pada tanggal 26 September 1951
dengan jurusan Da'wah (kelak menjadi Ushuluddin),[2]
Pendidikan Tinggi Islam merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang
modern. Dalam sejarah, pendidikan tinggi Islam yang tertua adalah Sekolah
Tinggi Islam (STI), yang menjadi cikal bakal pendidikan tinggi Islam
selanjutnya. STI didirikan pada 8 Juli 1945 di Jakarta, kemudian dipindahkan ke
Yogyakarta, dan pada tahun 1948 resmi berganti nama menjadi Universitas Islam
Indonesia (UII). Selanjutnya, UII merupakan bibit utama dari
perguruan-perguruan tinggi swasta yang kemudian berkembang menjadi beberapa
Universitas Islam yang populer di Indonesia, seperti misalnya Universitas Ibn
Kholdun di Bogor, Universitas Muhammadiyah di Surakarta, Universitas Islam
Sultan Agung di Semarang, Universitas Islam Malang (UNISMA) di Malang,
Universitas Islam Sunan Giri (UNSURI) di Surabaya, Universitas Darul ‘Ulum
(UNDAR) di Jombang dan lain-lain.
Menurut Tolhah Hasan, perkembangan dan kemajuan pendidikan tinggi Islam di
Indonesia banyak ditentukan oleh beberapa faktor di antaranya: kredibilitas
kepemimpinan, kreativitas manajerial kelembagaan, pengembangan program akademik
yang jelas dan kualitas dosen yang memiliki tradisi akademik.
Sebagaimana diketahui bahwa orientasi pendidikan Islam
berusaha mengubah keadaan sesorang dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak
dapat berbuat menjadi dapat berbuat. Sehingga dengan pendidikan orang
mengerti akan dirinya plus segala potensi kemanusiaanya, lingkungan masyarakat,
alam sekitar dan yang lebih dari semua itu adalah dengan adanya pendidikan
manusia dapat menyadari sekaligus menghayati keberadaannya di hadapan
khaliknya.
Berbicara pendidikan adalah berbicara keyakinan,
pandangan dan cita-cita, tentang hidup dan kehidupan manusia dari generasi
ke-generasi maka pengunaan istilah “Pendidikan Islam” atau penambahan kata
Islam dibelakang kata “Pendidikan” pada kajian ini meniscayakan bahwa
pendidikan Islam tidak dapat dipahami secara terbatas hanya kepada “Pengajaran
Islam” mengingat keberhasilan pendidikan Islam tidak cukup diukur hanya dari
segi seberapa jauh anak menguasai hal-hal yang bersifat kognitf atau
pengetahuan tentang ajaran agama atau bentuk-bentuk ritual keagamaan semata.
Justru yang lebih penting adalah seberapa jauh tertanam nilai-nilai keagamaan
tersebut dalam jiwa dan seberapa jauh pula nilai-nilai tersebut mewujud dalam
sikap dan tikah laku sehari-hari.
Berangkat dari fenomena inilah menarik untuk ulasan
selanjutnya perlu dijabarkan bagaimana konsep pendidikan Islam dalam bingkai
Pengertian, Fungsi dan Tujuan Pendidikan Islam itu sendiri :
b. Pengertian Pendidikan Islam
Berangkat dari pemikiran bahwa suatu usaha yang tidak
mempunyai tujuan tidak akan mempunyai arti apa-apa. Ibarat seseorang yang bepergian
tak tentuh arah maka hasilnya adalah tak lebih dari pengalaman selama
perjalanan. Pada dasarnya pendidikan merupakan usaha yang dilakukan sehingga
dalam penerapannya ia tak kehilangan arah dan pijakan. Namun sebelum masuk pada
pembahasan mengenai fungsi dan tujuan Pendidikan Islam terlebih dahulu perlu
dijelaskan apa pengertian Pendidikan Islam.
Pengertian pendidikan Islam yaitu sebuah proses yang
dilakukan untuk menciptakan manusia-manusia yang seutuhnya; beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan serta mampu mewujudkan eksistensinya sebagai khalifah
Allah dimuka bumi, yang berdasarkan kepada ajaran Al-qur’an dan Sunnah, maka
tujuan dalam konteks ini terciptanya insan kamil setelah
prosespendidikan berakhir.[3]
Prof. H. Muhamad Daud Ali, S.H. berpendapat bahwa pendidkan
adalah usaha sadar yang dilakukan oleh manusia untuk mengembangkan potensi
manusia lain atau memindahkan nilai-nilai yang dimilikinya kepada orang lain
dalam masyarakat.[4]
Proses pemindahan nilai itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya
adalah, pertama melalui pengajaran yaitu proses pemindahan nilai
berupa (Ilmu) pengetahuan dari seorang guru kepada murid-muridnya dari
suatu generasi kegenerasi berikutnya. kedua melalui pelatihan yang
dilaksanakan dengan jalan membiasakan seseorang melakukan pekerjaan tertentu
untuk memperoleh keterampilan mengerjakan pekerjaan tersebut. ketiga
melalui indoktrinnasi yang diselenggarakan agar orang meniru atau mengikuti apa
saja yang diajarkan orang lain tanpa mengijinkan si penerima tersebut mempertanyakan
nilai-nilai yang diajarkan.
Terkadang apabila ingin membahas seputar Islam dalam
Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat menarik terutama dalam kaitannya
dengan upaya pembangunan Sumber Daya Manusia muslim, sebagaimana Islam di
pahami sebagai pegangan hidup yang diyakini mutlak kebenarannya akan merai arah
dan landasan etis serta moral pendidikan, atau dengan kata lain hubungan antara
Islam dan pendidikan bagaikan dua sisi keping mata uang. Artinya, Islam dan
pendidikan mempunyai hubungan filosofis yang sangat mendasar baik secara
ontologis, epistimologis maupun aksiologis.
Pemikiran di atas sejalan dengan falsafah bahwa sebuah
usaha yang tidak mempunyai tujuan tidak akan mempunyai arti apa-apa. Ibarat
seseorang yang bepergian tak tentu arah maka hasilnya adalah tidak lebih dari
pengalaman selam perjalanan. Pada dasarnya pendidikan merupakan usaha yang
dilakukan sehingga dalam penerapannya ia tak kehilangan arah dan pijakn. Namun
sebelum masuk dalam pembahasan mengenai fungsi dan tujuan pendidikan Islam
terlebih dahulu perlu dijelaskan apa pengertian Pendidikan Islam itu sendiri.
Zarkowi Soejati dalam makalahnya yang
berjudul “Model-model Perdidikan Tinggi Islam” mengemukakan pendidikan
Islam paling tidak mempunyai tiga pengertian. Pertama ; lembaga
pendidikan Islam itu pendirian dan penyelenggaraannya didorong oleh hasrat
mengejawantahkan nilai-nilai Islam yang tercermin dalam nama lemabaga
pendidikan itu dan kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan. Kedua ; lembaga
pendidikan memberikan perhatian dan menyelenggarakan kajian tentang Islam yang
tercermin dalam program sebagai ilmu yang diperlukanseperti ilmu-ilmu lain yang
menjkadi program kajian lembaga pendidikan Islam yang bersangkutan. Ketiga ;
mengandung kedua pengertian di atas dalam arti lembaga tersebut memperlakukan
Islam sebagai sumber nilai bagi sikap dan tingkah laku yang harus tercermin
dalam penyelenggaraannya maupun sebagai bidang kajian yang tercermin dalam
program kajiannya.[5]
Konsep pendidikan Islam sebagaimana dikemukakan
Zarkowi Soejati tersebut, terkesan sederhana dan belum terlalu luas cakupannya,
namun paling tidak konsep ini bisa diterapkan dalam upaya peningkatan
sumberdaya manusia melalui pencerminan penyelenggaraan pendidikan dan program
kajian yang bernuansa Islami dalam proses pemindahan nilai-nilai yang dimiliki
dan dapat dibawah ke-masyarakat.
Adapun pendapat lain mengatakan bahwa pengertian
pendidikan Islam yaitu sebuah proses yang dilakukan untuk menciptakan
manusia-manusia yang seutuhnya : beriman dan bertaqwa kepada Tuhan serta mampu
mewujudkan eksistensinya sebagai khalifah Allah di muka bumi, yang berdasarkan
kepada ajaran Al-qur’an dan As-sunnah, maka tujuan dan konteks ini terciptanya
manusia seutuhnya “Insan Kamil”, setelah proses pendidikan berakhir.
Sebagaimana
di tegaskan dalam Al-qur’an :
Artinya :
“Sesunggunya kami telah menciptakan
manusia dalam bentuk sebaik-baiknya.”
Dalam artian bahwa pendidikan Islam
adalah proses penciptaan manusia yang memilki kepribadian serta berakhlakul
karimah “Akhlak Mulia” sebagai makhluk pengemban amanah di bumi.
Maka Pendidikan Islam adalah pendidikan yang mampu
menyiapkan kader-kader khalifah, sehingga secara fungsional
keberadaannya menjadi pemeran utama terwujudnya tatanan dunia yang rahmatan
lil–‘alamin. Ditambahkan lagi bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan yang
berwawasan semesta, berwawasan kehidupan yang utuh dan multi dimensional, yang
meliputi wawasan tentang Tuhan, manusia dan alam secara integratif.
c. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Islam
Sebelum lebih jauh menjelaskan tujuan pendidikan Islam
terlebih dahulu apa sebenarnya makna dari “tujuan” tersebut. Secara etimologi
tujuan adalah “arah, maksud atau haluan.[6]
Termminologinya tujuan berarti sesuatu diharapkan tercapai setelah sebuah usaha
atau kegiatan selesai. Oleh H.M. Arifin menyebutkan, bahwa tujuan proses
pendidikan Islam adalah “idealitas (cita-cita) yang mengandung nilai-nilai
Islam yang hendak dicapai dalam proses kependidikan yang berdasarkan ajaran
Islam secara bertahap.
Maka secara umum, tujuan pendidikan Islam terbagi
kepada: pertama tujuan umum adalah tujuan yag akan dicapai dengan semua
kegiatan pendidikan baik pengajaran atau dengan cara lain. kedua, tujuan
sementara adalah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik diberi sejumlah
pengalamn tertentu yang direncanakan dalam sebuah kurikulum. ketiga,
tujuan akhir adalah tujuan yang dikehendaki agar peserta didik menjadi
manusia-manusia sempurna (insan kamil) setelah ia menghabisi sisa
hidupnya. Sementara keempat tujuan oprasional adalah tujuan praktis
yang akan dicapai dengan sejumlah kegiatan pendidikan tertenru.
Sementara itu dalam Konferensi Internasional Pertama
tentang Pendidikan Islam di Mekah pada tahun 1977 merumuskan tujuan pendidikan
Islam sebagai berikut :
“Pendidikan bertujuan mencapai pertumbuhan
kepribadian manusia yang menyeluruh secara seimbang melalui latihan jiwa,
intelek, diri manusia yang rasional ; perasaan dan indera. Oleh karena itu
pendidikan harus mencakup pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya ;
spritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, bahasa, baik secara individu
maupun secara kolektif, dan mendorong semua aspek ini ke arah kebaikan untuk
mencapai kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan muslim terletak pada perwujudan
ketundukkan yang sempurna kepada Allah baik secara pribadi, komunitas, maupun
seluruh umat manusia”.[7]
Konsep di atas sejalan dengan rumusan tujuan
pendidikan Islam, yaitu meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan dan
pengalaman anak tentang Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan
bertaqwa kepada Allah swt serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sehingganya dalam konteks ini
pendidikan Islam haruslah senantiasa mengorientasikan diri kepada menjawab
kebutuhan dan tantangan yang muncul dalam masyarakat kita sebagai konsekuensi
logis dari perubahan.
Dapat pula katakan, bahwa tujuan pendidikan Islam
adalah kepribadian muslim, yaitu sesuatu kepribadian yang seluruh aspeknya
dijiwai oleh ajaran Islam. Orang yang dalam kepribadian muslim dalam Al-qur’an
disebut “Muttaqin” karena itu Pendidikan Islam berarti pula pembentukan manusia
yang bertakwa, sebagaimana konsep pendidikan nasional yang dituangkan dalam
tujuan pendidikan nasional yang akan membentuk manusia pancasilais yang
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan demikian jika dilakukan rekonstruksi, maka
menurut Islam ilmu yang selayaknya dikuasai manusia merupakan perpaduan dari
ilmu – ilmu yang diperoleh manusia melalui kawasan alam semesta dengan ilmu
yang dikirim melalui wahyu yang dapat ditangkap oleh para nabi dan rasul. Dalam
perspektif pendidikan Islam yang menyiapkan manusia agar dapat melakukan
perannya, baik sebagai khalifah maupun sebagai ‘abd, maka
ilmu yang wajib dituntut adalah ilmu yang sifatnya terpadu, dan inilah ciri khas
pendidikan Islam.
Dilihat dari tujuan pendidikan di atas maka dengan
sendirinya terimplisit fungsi pendidikan Islam. Dapat diartikan fungsi
Pendidikan Islam adalah untuk menjaga keutuhan unsur–unsur individu anak
didik dengan mengoptimalkan potensinya dalam garis keridhaan Allah, serta
mengoptimalkan perkembangannya untuk bertahan hidup terhadap aspek keterampilan
setiap anak. Pendidikan Islam adalah pendidikan terbuka. Artinya Islam mengakui
adanya perbedaan, akan tetapi perbedaannya yang hakiki ditentukan oleh amalnya.
Oleh karena itu pendidikan Islam pada dasarnya terbuka, demokratis, dan
universal. Keterbukaan tersebut ditandai dengan kelenturan untuk mengadopsi
(menyerap) unsur–unsur positif dari luar, sesuai perkembangan dan kebutuhan
masyarakatnya, dan tetap menjaga dasar–dasarnya yang original yang bersumber
pada Al-Qur’an dan Al-hadits.[8]
Singkatnya, pendidikan Islam secara ideal berfungsi
membina dan menyiapkan anak-anak dalam keluarga termasuk anak didik yang
berilmu, berteknologi, berketerampilan tinggi dan sekaligus beriman dan beramal
saleh. Oleh karena itu penjabaran materi pendidikan Islam tidak hanya
berkisar pada hal–hal yang berkaitan dengan masalah–masalah ubudiyah
yang khas (khusus) seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lain–lain, akan
tetapi ubudiyah yang lebih umum dan luas, yaitu pengembangan ilmu sosial
sehingga anak dapat berinteraksi dengan lingkungannya secara baik maupun
pengembangan pengetahuan dan teknologi yang sangat bermanfaat dalam
meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan.
Dengan
demikian pendidikan menyandang misi keseluruhan aspek kebutuhan hidup serta
perubahan-perubahan yang terjadi. Akibat logisnya, pendidikan senantiasa
mengundang pemikiran dan kajian baik secara konseptual maupun oprasionalnya.
Sehingga diperoleh relevansi dan kemampuan menjawab tantangan serta memcahkan
masalah-masalah yang dihadapi oleh umat Islam.
B. KONSEP PENDIDIKAN ISLAM MENURUT
IBNU MASKAWAIH
a.
Riwayat
singkat Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih mempunyai nama lengkap
Abu Ali Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu yacub Ibnu Miskawaih. Sebutan namanya yang
lebih masyhur adalah Miskawaih atau Ibnu Miskawaih. Nama tersebut diambil dari
nama kakeknya yang semula beragama Majusi kemudian masuk Islam. Gelarnya adalah
Abu Ali, yang diperoleh dari nama sahabat Ali, yang bagi kaum Syi’ah dipandang
sebagai yang berhak menggantikan nabi dalam kedudukannya sebagai pemimpin umat
Islam sepeninggalnya. Dari gelar ini tidak salah jika orang mengatakan bahwa
Miskawaih tergolong penganut aliran Syi’ah. Gelar yang juga sering disebutkan,
yaitu al-Khazim yang berarti bendaharawan, disebabkan kekuasaan ‘Adhud
al-Daulah dari Bani Buwaihi, ia memperoleh kepercayaan sebagai bendaharawannya.
Ia dilahirkan di kota Rayy (Teheran sekarang) Iran pada tahun 330H/9 M dan
wafat di Asfahan pada tanggal 9 Shafar 421 H/ 16 Feruari 1030 M. Ibnu Miskawaih
hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihiyyah (320-450 H/932-1062 M) yang
besar pemukanya bermazhab Syi’ah.
Syed Abdul Wadud di dalam buku Alam dan
Quran telah menyebut dia sebagai Miskawiah. Ia adalah ilmuwan suka meneliti
dalam pengetahuan ilmiah dan akademis. Ia adalah ahli dan mampu di bidang
Biologi; ia merupakan ilmuwan pertama yang menemukan kehidupan tumbuhan secara
umum, membahas tentang evolusi. Ia adalah sarjana sosiologi, yang ahli tentang
kebudayaan dan peradaban dengan spesifikasi pada disiplin Psikologi, dalam
bidang psikologi ia termasuk ahli dibidangnya. Ia adalah peneliti dan pemikir
etika, kerohanian dan penulis besar buku akhlak. Miskawaih adalah salah seorang
tokoh filsafat dalam Islam yang memusatkan perhatiannya pada etika Islam.
Meskipun sebenarnya ia pun seorang sejarawan, tabib, ilmuwan dan sastrawan.
Pengetahuannya tentang kebudayaan Romawi, Persia, dan India, disamping filsafat
Yunani, sangat luas.Konsep Dasar Pemikiran Pendidikan Ibnu Miskawaih
Dasar adalah landasan bagi berdirinya
sesuatu yang memberikan arah bagi tujuan yang hendak dicapai. Menurut Ibnu
Miskawaih dasar pendidikan adalah:
1.
Syariat
Ibnu Miskawaih tidak menjelaskan secara
pasti tentang dasar pendidikan. Namun secara tegas ia menyatakan bahwa syari’at
agama merupakan faktor penentu bagi lurusnya karakter manusia, yang menjadikan
manusia terbiasa melakukan perbuatan terpuji, yang menjadikan jiwa mereka siap
menerima kearifan (hikmah), dan keutamaan (fadilah), sehingga dapat memperoleh
kebahagiaan berdasarkan penalaran yang akurat. Dengan demikian syariat agama
merupakan landasan pokok bagi pelaksanaan pendidikan yang merujuk kepada
Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu, prinsip syariat harus diterapkan dalam
proses pendidikan, yang meliputi aspek hubungan manusia dengan Tuhan, manusia
dengan sesamanya dan manusia dengan makhluk lainnya.
2. Psikologi
Menurut Ibnu Miskawaih, antara
pendidikan dan pengetahuan tentang jiwa erat kaitannya. Untuk menjadikan
karakter yang baik, harus melalui perekayasaan (shina’ah) yang didasarkan pada
pendidikan serta pengarahan yang sistematis. Itu semua tidak akan tercapai
kecuali dengan mengetahui jiwa lebih dahulu. Jika jiwa dipergunakan dengan baik,
maka manusia akan sampai kepada tujuan yang tertinggi dan mulia.
Maka dari itu, jiwa merupakan landasan
yang penting bagi pelaksanaan pendidikan. Pendidikan tanpa pengetahuan
psikologi laksana pekerjaan tanpa pijakan. Dengan demikian teori psikologi perlu
diaplikasikan dalam proses pendidikan. Dalam hal ini Ibnu Miskawaih adalah
orang yang pertama kali melandaskan pendidikan kepada pengetahuan psikologi. Ia
adalah perintis psikologi pendidikan, dan layak disebut sebagai ‘Bapak
Psikologi Pendidikan’.
3. Metode Pendidikan
Menurut Ibnu Miskawaih
Definisi metode yang digunakan dalam
topik ini identik dengan alat, karena fungsinya sebagai pelancar terjadinya
proses pendidikan, dan cara yang harus dilakukan. Ada beberapa metode
pendidikan yang dikemukakan oleh Ibnu Miskawaih, di antaranya adalah :
a.
Metode alami (thabi’i)
Manusia mempunyai metode alami yang
dilakukan sesuai dengan proses alam. Cara ini berangkat dari pengamatan potensi
manusia, di mana potensi yang muncul lebih dahulu, selanjutnya pendidikannya
diupayakan sesuai dengan kebutuhan. Menurut Ibnu Miskawaih potensi yang pertama
terbentuk bersifat umum yang juga ada pada hewan dan tumbuhan, kemudian baru
potensi yang khusus manusia. Oleh karena itu, pendidikan harus dimulai dengan
memperhatikan kebiasaan makan dan minum, karena dengannya akan terdidik jiwa
syahwiyyah, kemudian baru yang berhubungan dengan jiwa ghadhabiyah yang
berfungsi memunculkan cinta kasih, dan baru muncul jiwa nathiqah yang berfungsi
memenuhi kecenderungan pengetahuan. Urutan ini yang disebut dengan metode
alamiah.
b.
Metode Bimbingan
Metode
ini penting untuk mengarahkan subjek didik kepada tujuan pendidikan yang
diharapkan yaitu mentaati syariat dan berbuat baik. Hal ini banyak ditemukan
dalam Al-Qur’an, yang menunjukkan betapa pentingnya nasihat dalam interaksi
pendidikan yang terjadi antar subjek-didik. Nasihat merupakan cara mendidik
yang ampuh yang hanya bermodalkan kepiawaian bahasa dan olah kata.
c.
Metode Ancaman,
Hardikan, dan Hukuman
Berangkat dari metode yang sebelumnya,
jika subjek-didik tidak melaksanakan nilai yang telah diajarkan, maka mereka
diberi berbagai cara secara bertahap sehingga kembali kepada tatanan nilai yang
ada. Seperti ancaman, kemudian baru hukuman, baik bersifat jasmani atau rohani.
d.
Metode Pujian
Jika subjek didik melaksanakan syariat
dan berperilaku baik, maka ia perlu dipuji dihadapannya. Hal ini agar mereka
merasa bahwa perbuatan tersebut mendapat nilai tambah bagi dirinya. Jika
pandangan ini menyebar, akan semakin gencar subjek-didik melaksanakan
kebajikan.
4. Asas Pendidikan Menurut
Ibnu Miskawaih
Yang dimaksud dengan asas di sini adalah
hal-hal yang mendasar, yang perlu diperhatikan dalam proses kegiatan pendidikan
seperti:
1. Asas bertahap, yaitu asas yang
didasarkan pada perbedaan yang dimiliki oleh tiap individu agar pendidikan
berdaya dan berhasil guna.
2. Asas kesiapan, di mana manusia
mempunyai kesiapan untuk memperoleh tingkatan, antara yang satu berbeda dengan
yang lain.
3. Asas gestalt, yaitu mendahulukan
pengetahuan yang umum, baru yang terinci, karena partikular tidak dapat
dipisahkan dari hal yang universal.
4. Asas keteladanan, yaitu pemberian
contoh yang baik bagi subjek didik, baik dalam keluarga, sekolah dan
masyarakat.
5. Asas kebebasan, di mana subjek didik
bebas memilih antara kemuliaan dan kehinaan, atau menjadi makhluk yang
setingkat malaikat. Itu semua diserahkan kepada subjek didik.
6. Asas pembiasaan. Asas ini merupakan
upaya praktek dalam pembinaan subjek didik, sesuai dengan kebiasaan hidupnya,
karena kebiasaan hidup susah untuk diuba
5. Hubungan
Pendidik Dan Subjek Didik
1. Pendidik
Ibnu Miskawaih mengelompokkan orang yang
melakukan usaha pendidikan di antaranya adalah: orang tua, guru atau filsuf,
pemuka masyarakat dan raja atau penguasa. Guru dan filsuf mempunyai kedudukan
yang istimewa yaitu sebagai Bapak Ruhani, Tuan Manusia dan kebaikannya adalah
Kebaikan Ilahi. Hal ini karena dia mendidik murid dengan keutamaan yang
sempurna (al fadillah at tammah), mengajarinya dengan kearifan yang mapan
(al-hikmahtul balighah) dan mengarahkannya kepada kehidupan yang abadi
(al-hayah al abadiyah) dalam kenikmatan yang kekal (an-ni’mah al abadiyah).
Ibnu Miskawaih menyatakan guru dan filsuf adalah penyebab eksistensi
intelektual manusia.
2. Subjek Didik
Pengertian subjek didik yaitu semua
orang yang memperoleh atau memerlukan bimbingan, bantuan dan latihan, baik
berupa ilmu, ketrampilan atau lainnya, guna mengembangkan dirinya sebagai
individu, anggota masyarakat dan hamba Tuhan yang paripurna.
Menurut Ibnu Miskawaih, hubungan antara
pendidik dan subjek didik harus didasarkan pada kemanusiaan yaitu cinta, kasih
sayang, persahabatan, keadilan, kebaikan dan fadhilah. Hal ini karena manusia
adalah makhluk sosial yang harus membagi cinta dan kasih sayang, bersahabat,
menegakkan keadilan dan berupaya memperoleh keutamaan. Sehingga dalam
pendidikan harus terjadi komunikasi dua arah (interaksi), bahkan multi arah
(transaksi).
6. Tujuan
Pendidikan Menurut Ibnu Miskawaih
Ibnu
Miskawaih memusatkan perhatiannya kepada filsafat akhlak. Karena itu corak
pemikiran pendidikannya bertendensi moral. Adapun tujuan pendidikan menurut
Ibnu Miskawaih adalah:
1. Kebaikan dan kebahagiaan
Manusia yang ingin diwujudkan oleh
pendidikan adalah manusia yang baik, bahagia dan sempurna. Kebaikan,
kebahagiaan dan kesempurnaan adalah suatu mata rantai yang tidak dapat
dipisahkan. Seluruhnya adalah berkaitan dengan akhlak, etika dan moral. Untuk
mencapai tingkatan tersebut, harus memiliki 4 kualitas, yaitu; kemampuan dan
semangat yang kuat, ilmu pengetahuan yang esensial-substansial, malu kebodohan,
dan tekun melakukan keutamaan dan konsisten mendalaminya.
2. Tercapainya Kemuliaan Akhlak
Manusia yang paling mulia ialah yang
paling besar kadar jiwa rasionalnya, dan terkendali. Oleh karena itu
pembentukan individu yang berakhlak mulia terletak pada bagian yang menjadikan
jiwa rasional ini unggul dan dapat menetralisir jiwa-jiwa lain.
Tujuan pendidikan yang diinginkan Ibnu Miskawaih adalah idealistik-spiritual, yang merumuskan manusia yang berkemanusiaan. Rumusan ini sejalan dengan fungsi kerasulan Muhammad yang digambarkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah yaitu sebagaimana yang disebutkan dalam QS. Al-Qalam: ayat 4:
Tujuan pendidikan yang diinginkan Ibnu Miskawaih adalah idealistik-spiritual, yang merumuskan manusia yang berkemanusiaan. Rumusan ini sejalan dengan fungsi kerasulan Muhammad yang digambarkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah yaitu sebagaimana yang disebutkan dalam QS. Al-Qalam: ayat 4:
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi
pekerti yang agung”.
Dari sinilah kebanyakan para ahli pendidik Muslim sepakat bahwa tujuan pendidikan Islam yang paling pokok adalah pendidikan budi pekerti dan jiwa. Faktor kemuliaan akhlak dalam pendidikan Islam inilah kemudian menjadi penentu bagi keberhasilan pendidikan Islam. Sebagaimana yang terangkum dalam firman Allah SWT (QS. Al-Baqarah: 201) :
“Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka” inilah do’a yang sebaik-baiknya bagi seorang muslim.
Dari sinilah kebanyakan para ahli pendidik Muslim sepakat bahwa tujuan pendidikan Islam yang paling pokok adalah pendidikan budi pekerti dan jiwa. Faktor kemuliaan akhlak dalam pendidikan Islam inilah kemudian menjadi penentu bagi keberhasilan pendidikan Islam. Sebagaimana yang terangkum dalam firman Allah SWT (QS. Al-Baqarah: 201) :
“Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka” inilah do’a yang sebaik-baiknya bagi seorang muslim.
3. Sebagai Sarana Sosialisasi Individu
Manusia adalah makhluk sosial, maka
pendidikan harus berfungsi sebagai proses sosialisasi bagi subjek didik.
Kebijakan manusia sangat banyak jumlahnya, yang tidak mampu dicapai oleh
individu, perlu bergabung dengan kelompok lain untuk tujuan tersebut. Gagasan
ini merupakan jalan rintis lahirnya sosiologi pendidikan yang di kembangkan
oleh para sosiolog modern.
BAB II
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Keberadaan Perguruan Tinggi Agama Islam menjadi pelopor
dalampengembangan ilmu-ilmu keislaman di Indonesia dan dunia Islam melalui pengitegrasian berbagai bidang kelimuan yang ada sehingga
memberikan ruang yang lebih luas bagi alumni yang dihasilkan. Untuk mewujudkan hal di atas, diperlukan dukungan dalam bentuk penguatan kelembagaan dan peningkatan kualitas ketenagaan sehingga
proses ke arah
peningkatan mutu dapat berjalan dengan baik.
Berdirinya Universitiy Islam
Solo (22 Januari 1950) dan penyerahan Fakultas Agama Universitas Islam Yogyakarta kepada pemeritah
menjadi embirio
lahirnya IAIN, yang selanjutnya beberapa diantaranya mengalami transformasi menjadi Universitas Islam Negeri
(UIN). Pada tanggal 20 Februari
1951terjadi penggabungan antara Universitiy Islam Solo dan University Islam Indonesia menjadi Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Tahun 1997 melalui Keputusan Presiden No. 11 Tahun
1997,
UIN, IAIN, dan STAIN sebagai
lembaga pendidikan tinggi Islam, mempunyai
kontribusi terhadap pengembangan pendidikan di Indonesia sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Pengembangan studi keislaman yang dikembangkan di perguruan tinggi Islam juga telah banyak memberikan kontribusi dalam mecerdaskan bangsa Indonesia.
Menurut Ibnu Miskawaih, pendidikan yang
sistematis dapat dilaksanakan apabila didasari dengan pengetahuan mengenai jiwa
yang benar. Oleh karena itu pengetahuan tentang jiwa adalah sangat penting
sekali dalam proses pendidikan. Kajian mengenai konsep pendidikan yang
dikemukakan oleh Ibnu Miskawaih, diharapkan mampu menguak konsep pendidikan
Islam dalam skala khusus, terutama pendidikan akhlak yang dirasa penting,
karena setiap budaya memiliki norma etika atau tata susila yang harus dipatuhi.
Oleh karena itu, moral merupakan suatu fenomena manusiawi yang universal, yang
hanya terdapat pada diri manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Direktotat Perguruan
Tinggi Islam Departeme Agama RI, PERTA Jurnal
Komunikasi
Perguruan Tinggi Islam, Vol.IV
No.02/2001
Haidar Putra Daulay, Sejarah
Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2009
Marwan Saridjo, Pendidikan
Islam dari Masa Ke Masa: Tinjauan Kebijakan Ngali Aksara dan Penamadani, 2010
[1]Direktorat Perguruan Tinggi Islam, Sejarah Singkat IAIN dalam http://www.ditpertais.net/ttgiain.asp/2003/,
tanggal 20 Desember 2011.
[2] Rusminah, (dkk). Perguruan Tinggi Agama Islam (UIN, IAIN, dan
STAIN). Dalam Insan Cendekia, 2010), h.1
[3] Baca DR.
Armai Arif, M. A. Pengantar Ilmu dan
Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta : Ciputat Pers, 2002), h. 16.
[4] Lihat, Prof.
H. Muhamad Daud Ali S.H. dan Hj. Habiba Daud S.H. Lembaga-lembaga Islam di
Indonesia (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1995), h. 137.
[6] Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka 1995), edisi ke-2, Cet, ke-4, h. 1077
[8] Abd al-
Ghani ‘Abud, Dirasat Muqaranat li Tarikh al – Tarbiyah, ( Kairo :
Dar al- Fikr al – Arabi, 1987 ), h. 203
Komentar
Posting Komentar